Pertanyaan 1
Diantara persoalan yang menimbulkan kesamaran sekarang ini bagi sebagian
pemuda adalah munculnya berbagai kemaksiatan dan kemungkaran yang jelas
bertentangan dengan ajaran agama di tengah masyarakat Islam. Kemudian pemuda-pemuda
itu menganggapnya sebagai masyarakat jahiliyah. Sangat disayangkan beberapa
orang yang disebut sebagai pemikir Islam justru banyak mengobral istilah
tersebut. Tentunya Syaikh yang mulia sudah mengatahui dampak buruk dari
perkataan tersebut.
Jawaban :
Ahamdulillah Rabbil 'Alamin. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi
besar Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, wa ba'du.
Eksistensi haq dan batil serta peperangan antara keduanya merupakan perkara
yang sudah dimaklumi bersama. Semenjak Adam diturunkan ke bumi, peperangan
antara haq dan batil terus berlangsung. Akan tetapi jika orang-orang yang
berada di atas haq berlaku jujur dan berniat ikhlas niscaya mereka akan
mendapat pertolongan. Namun jika di antara mereka saling tidak memperdulikan
dan tercerai berai serta saling tidak memahami dan merujuk kepada kebenaran
maka perselisihan akan semakin meruncing dan jurang perpecahan akan semakin
melebar. Allah telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab supaya
manusia dapat menegakkan keadilan dan kebenaran. Sungguh sangat keliru seorang
muslim yang menunggu masyarakat yang seteril dari kemungkaran dan hanya ada
satu kebenaran tanpa ada perlawanan dari kebatilan.
Kondisi seperti itu tidak mungkin tercipta, sunnatullah telah menetapkan
bahwa peperangan antara haq dan batil akan terus berlangsung agar Allah
mengetahui siapa saja yang membela agamanya dan siapa yang hidup maka hidupnya
diatas keterangan yang nyata. Sejak generasi pertama umat ini, masyarakat Islam
tidak terlepas dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
individu-individunya, sebagai buktinya adalah pelaksanaan hukuman-hukuman
pidana di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam demikian pula di zaman
Khalifah Rasyidah dan Khilafah-khilafah Islamiyah dari masa ke masa sampai
sekarang.
Namun walaupun demikian, kaum muslimin, terutama para ulama tetap menegakkan
dakwah kepada jalan Allah di atas pelita ilmu. Menerangkan kebenaran dan
mengajak manusia kembali ke jalan Allah serta memperingatkan manusia dari
setiap pelanggaran perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka juga bersikap
santun kepada pelaku maksiat, mereka anggap pelaku maksiat itu seperti orang
sakit yang butuh pengobatan, tidak mereka jadikan sebagai mangsa atau ajang
memperebutkan harta ghanimah.
Termasuk kaidah dalam aqidah Ahlus Sunnah adalah mencintai kaum mukminin
sesuai dengan kadar keimanan yang mereka miliki serta membenci mereka sesuai
dengan kadar maksiat yang mereka lakukan. Dengan demikian martabat manusia
berbeda-beda sesuai dengan kadar keteguhan dan keistiqomahan mereka mejalankan
agama, sesuai dengan kedudukan dan kecintaan mereka kepada agama dan sesuai
dengan kadar perintah yang mereka lalaikan dan larangan yang mereka langgar.
Akan tetapi hal itu tidak menjurus kepada pengkafiran, permusuhan dan
pemutusan hubungan dan mengabaikan memberikan nasihat dan bersikap santun
kepada mereka. Bahkan setiap muslim wajib memberi nasihat dan bersungguh-
sungguh dalam menasihati dan membimbing saudaranya seagama. Saya yakin,
mayoritas pemuda muslim yang hidup di tengah kebangkitan Islam sekarang ini
mengetahui perkara tersebut. Memang benar, ada diantara mereka ada yang besikap
ekstrim dan tidak menempatkan persoalan sesuai dengan porsinya. Mereka tidak menginginkan
terjadinya pelanggaran syariat apapun bentuknya.
Bagi mereka siapa saja yang melalaikan persoalan ini -menurut pemahaman
sebagian mereka- tidak berhak menjadi pemimpin dan tidak boleh diserahkan
mengurus urusan kaum muslimin. Menurut mereka orang tersebut sama sekali tidak
akan mau mengenyahkan kebatilan. Hal itu mereka lakukan tanpa meneliti dan
mempelajari serta memahami persoalan sebenarnya dan tanpa melihat positif
negatif dan baik buruknya. Tanpa melihat sebab-sebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran
tersebut. Dan tanpa melihat akibat tindakan mereka yang tergesa-gesa dan
terburu-buru. Dan tanpa melihat latar belakang terjadinnya
pelanggaran-pelanggaran syariat yang dilakukan masyarakat. Ternyata segelintir
pemuda tadi tidak menyelami sisi yang kita sebutkan tadi. Bagi mereka cuma ada
satu semangat, yaitu semangat mengubah kemungkaran tanpa mengetahui ilmunya.
Hingga sebagian mereka jika mendengar berita, tanpa mengecek kebenarannya
(apakah benar atau tidak) langsung mengomentarinya dalam khutbah-khutbah atau
majelis-majelis. Sudah barang tentu, seseorang harusnya mengetahui akar
permasalahannya terlebih dahulu. Apa penyebab terjadinya dan tersebarnya
pelanggaran-pelanggaran syariat tersebut ? Dan apa saja wasilah yang mungkin
ditempuh untuk menyelesaikan problematika tersebut atau minimal mengurangi
tersebarnya keburukan.
Segelintir orang juga melupakan kaidah step by step dalam menyelesaikan
masalah. Sebenarnya kaidah ini sudah dikenal dalam syariat Islam, sebagai
buktinya adalah dakwah yang berkembang setahap demi setahap, maksiat yang
dilakukan manusia pada zaman jahiliyah seperti minum khamar, riba, dan lainnya
juga dilarang Islam secara bertahap. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
menghilangkannya, bukan dengan hitungan bulan atau hari ! Segelintir orang
sepertinya ingin menyelesaikan problematika umat dalam waktu sekejap. Mereka
ingin segala kerusakan segera teratasi dalam waktu sehari atau dalam beberapa
jam tanpa memperhatikan baik buruknya. Dalam syariat Islam kita ketahui bahwa Dienul
Islam datang dengan membawa kaidah-kaidah agung yang mesti diperhatikan
diantaranya :
" Tidak boleh merubah kemungkaran yang menimbulkan kemungkaran yang
lebih besar daripada sebelumnya dan tidak boleh merubah kemungkaran yang
menimbulkan kerusakan lebih besar daripada kemungkaran itu ".
Dienul Islam mengajak kita agar menciptakan maslahat dan menjauhi kerusakan.
Jika kita dihadapkan kepada dua kerusakan maka kita diperintahkan untuk memilih
kerusakan yang paling ringan, demikianlah ! Memperhatikan dan memahami
perkara-perkara di atas sangatlah penting, lebih- lebih saat tersebarnya fitnah
yang melumpuhkan masyarakat. Dalam kondisi demikian, seorang insan hendaknya
bersikap arif tidak tergesa-gesa. Apalagi di zaman yang dalam sekejap desas-
desus berubah menjadi kenyataan.
Seorang da'i dituntut bertindak bijaksana dan bersikap arif. Di sana terdapat segelintir
orang yang memanfaatkan orang-orang awam untuk mencapai ambisi mereka. Mereka
mendatangi sebagian orang-orang shalih yang lalai lalu dimanfaatkan untuk
menyebarkan idielogi dan maksud-maksud kotor mereka. Dengan rapi mereka rancang
hal itu selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk dapat menjerat orang
shalih tersebut dalam jaring-jaring mereka. Lalu mereka ikat jaring- jaring
tersebut hingga orang shalih tersebut bagaikan lembu dicocok hidungnya di
tangan mereka.
Seorang muslim hendaknya mengetahui masalah ini dan hendaknya menyadari
bahwa sebuah masyarakat Islam harus menghormati ulama dan orang yang lebih
senior diantara mereka. Kita semua wajib berjalan di atas pedoman Salafush
Shalih, diantaranya adalah menghormati ulama. Hingga sekalipun seseorang merasa
maslahat yang dikatakannya lebih besar daripada maslahat yang dikatakan oleh
ulama yang lebih senior daripadanya. Ia harus diam dan tidak boleh menyanggah
orang yang lebih senior daripadanya.
Sebagai contoh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu memiliki beberapa pendapat,
sementara Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu memilih bermusyawarah dengan
sahabat- sahabat yang lebih senior, Ibnu Abbas tidaklah mengomentarinya. Ketika
Umar bin Khaththab pergi barulah Ibnu Abbas angkat bicara. Ditanyakan kepadanya
: "Mengapa anda tidak berbiacara di hadapan Umar? Beliau menjawab : "
Tidaklah pantas saya berbicara dihadapan para syaikh " Demikian pula Abullah
bin Mas'ud dan Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma serta sahabat-sahabat
lainnya Radhiyallahu 'anhum, Mereka sangat menghormati ulama.
Namun realita yang kita temukan sekarang, banyak oknum yang melecehkan
ulama. Padahal kepada ulamalah solusi problematika umat ini diserahkan. Kita
dapati sebagian oknum menjuluki ulama dengan gelar-gelar yang tidak pantas.
Kita tandaskan bahwa seorang penuntut ilmu bahkan juga seorang mukmin tidak
pantas melakukannya. Perbuatan itu hanya pantas dilakukan oleh orang kafir yang
alergi terhadap kebenaran. Sebagian kecil pemuda yang masih hijau melemparkan
kesalahan ini tanpa melihat akibatnya, ia membeberkannya tanpa menyadari akibat
buruk yang bakal terjadi.
Maksudnya saya ingin mengajak pemuda-pemuda itu supaya bersikap arif dan
tidak keburu nafsu, menghormati ulama dan menimbang maslahat orang banyak.
Hendaknya mereka memperhatikan akibat buruk dari perkataan yang mereka ucapkan.
Pertanyaan 2
Fadhilatus Syaikh, bolehkah menggunakan istilah jahiliyah bagi masyarakat
Islam sekarang ini, mengingat pelanggaran- pelanggaran syari'at yang terjadi di
dalamnya, terlebih masyarakat tersebut tidak berhukum dengan hukum Alllah ?
Jawaban :
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan istri-istri Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yang juga merupakan perintah kepada segenap wanita muslimah :
"Artinya : ...dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang jahiliyah yang dahulu" [Al-Ahzab : 33]
Telah dimaklumi bersama bahwa jahiliyah yang terdahulu telah mecapai titik
klimaks dalam melanggar perintah Allah, seperti syirik, khurafat, bid'ah dan
kesesatan yang membuat orang menertawakan dirinya sendiri saking jelek dan
hinanya perbuatan yang dilakukannya.
Masyarakat Islam yang ditegakkan di dalamnya ibadah shalat dan hukum-hukum
Allah, ditegakkan di dalamnya amar ma'ruf nahi mungkar tidak boleh dijuluki
sebagai masyarakat jahiliyah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
memperingatkan kita dari adat-adat jahiliyah, beliau bersabda.
"Artinya : Empat perkara jahiliyah yang masih dilakukan umatku :
Berbangga-bangga dengan kebesaran leluhur, mencela keturunan, menisbatkan
turunnya hujan kepada bintang-bintang dan mendatangi dukun"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa keempat perkara tersebut
termasuk jahiliyah. Namun beliau tidak mensifatkan umat ini sebagai umat
jahiliyah secara umum. Ditengah masyarakat mungkin saja terjadi perkara-
perkara jahiliyah. Namun sangat keliru jika mensifati umat ini sebagai umat
jahiliyah jauh dari Islam ! Hal itu merupakan perbuatan yang tidak menempatkan
sesuatu pada tempatnya dan termasuk melampui batas syar'i. Adapun masyarakat
yang telah sirna dan hilang syiar-syiar Islam di dalamnya dan tampak nyata
syiar-syiar kufur, syirik, ilhad dan paganisme, maka tidaklah berlebihan jika
dikatakan sebagai masyarakat jahiliyah.
Pertanyaan 3
Bagaimanakah hukumnya masyarakat yang didalamnya masih ditegakkan shalat
dan syiar-syiar Islam lainnya, namun tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah
sekalipun mayoritas individunya menghendaki ditegakkannya hukum syar'i. Sebagai
catatan, penggunaan istilah jahiliyah terhadap masyarakat Islam tersebut
dijadikan sebagai alasan oleh sebagian orang untuk menjauhkan diri dari
masyarakat dan membangkang pemerintah, serta dijadikan sebagai alasan untuk
menggunakan kekerasan dan tindakan-tindakan lainnya sebagai konsekuensi vonis
kafir yang dijatuhkan, seperti penghalalan darah, harta dan kehormatan orang
lain !
Jawaban :
Seorang insan hendaknya selalu memperhatikan dampak dari setiap ucapan dan
tindakannya terhadap orang lain. Jika istilah masyarakat jahiliyah yang
diucapkannya lebih dari sekedar julukan biasa dan bermaksud untuk menjatuhkan
vonis tertentu atas masyarakat tersebut yaitu vonis kafir dan wajib keluar dan
menjauhkan diri dari masyarakat tersebut, maka jelas tidak benar dan merupakan
maksud yang jelek. Dikhawatirkan amal pelakunya akan terhapus jika yang ia
maksudkan adalah seperti diatas.
Dia ingin menetapkan bahwa istilah jahiliyah ini sama dengan jatuhnya vonis
kafir. Sebagai konsekwensinya ia membangkang pemerintah dan berusaha
menjatuhkan, menyerang dan menekan penguasa. Saya tandaskan : "Cara
seperti ini bukanlah cara yang Islami, akan tetapi cara yang rusak yang
disusupi maksud dan i'tikad jelek. Hal itu kelihatan dari beberapa sisi :
Pertama : Oknum-oknum yang melakukan perbuatan seperti itu dan yang
menganggap masyarakat yang dijuluki sebagai masyarakat jahiliyah adalah
masyarakat kafir yang wajib menjauhkan diri darinya walau apapun akibatnya,
sangat jelas kelihatan bahwa mereka adalah :
- Orang yang dikenal tidak punya hikmah, ilmu dan pengkajian tentang akibat buruk tindakan mereka.
- Orang-orang yang mengasingkan diri dari masyarakat yang mayoritas atau bahkan seluruh penduduknya kaum muslimin. Sebenarnya tiada kuasa bagi mereka untuk menindak pelanggaran yang terjadi. Setelah menarik diri dari masyarakat merekapun menumpahkan darah kaum muslimin demi mewujudkan satu tujuan, yaitu menekan pengusa.
Merekapun menghalalkan darah kaum muslimin yang masih loyal
kepada penguasa tersebut dan masih bekerja dalam jajaran pemerintahannya
kendatipun mereka adalah kaum muslimin yang taat menegakkan shalat !
Mengapa mereka menghalalkan darah kaum muslimin ? Jawab mereka karena penguasa
mereka tidak berhukum dengan hukum Allah dan memakai undang-undang buatan
manusia. Dan disebabkan pemerintah membiarkan khamar dan zina terang-terangan
tersebar di wilayah mereka.
Boleh jadi realita tersebut benar! Akan tetapi apakah penguasa itu yang memerintahkannya
? Apakah ia memaksa rakyatnya berbuat demikian ? Dari sisi lain, apa hasilnya
membunuh dan menumpahkan darah kaum muslimin ? Padahal dalam hadits disebutkan.
"Artinya :Binasanya dunia dan seluruh isinya lebih ringan ketimbang
tertumpahnya darah seorang muslim"
Orang-orang yang bertindak demikian tentunya tidak mempertimbangkan akibat
tersebut.
Sebagaimana yang sudah dimaklumi bersama, pembangkangan tidak menghasilkan
maslahat apapun. Kami menyarankan mereka supaya memperhatikan akibat perbuatan
mereka, mulai mereka melakukannya hingga detik ini. Bukankah hasil yang dapat
dilihat hanyalah kerusakan dan mudharat yang besar bagi umat dan bagi mereka
sendiri ? Jelaslah mereka tidak memiliki kekuatan dan kemampuan yang seimbang
dengan kekuatan yang mereka lawan !
Akibat perbuatan mereka, penguasa berubah memusuhi orang- orang shalih, para
da'i dan yayasan-yayasan Islamiyah yang tidak ada hubungannya dengan tindak
kekerasan tersebut. Akan tetapi dalam hal ini penguasa tidak bisa mendeteksi
dan membedakan niat masing-masing orang, mana yang bersalah dan yang tidak.
Yang jelas, bagi siapa saja yang memperhatikan dengan seksama tentunya
mengetahui bahwa mudharat yang timbul akibat cara-cara seperti itu lebih besar
daripada maslahat yang diharapkan !
Dan juga salah satu dampak negatifnya adalah terganggunya aktifitas dakwah.
Pemerintah punya alasan untuk mengusir dan menekan para da'i disebabkan
perbuatan orang-orang pandir yang memerangi menteri dan militer atau aparat
pemerintah lainnya. Sehingga mereka menjadi bahan pembicaraan masyarakat dan
menjuluki mereka sebagai teroris. Secara tidak sengaja mereka telah
membangunkan musuh untuk melawan mereka. Dengan demikian musuh pun bebas
membuat perangkap dan makar untuk menumpas setiap kebaikan yang ada pada
mereka.
Pertanyaan 4:
Fadhilatus Syaikh, mereka beralasan dengan permasalahan kafirnya
orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dan beragumentasi dengan
fatwa yang dikeluarkan oleh sebagian ulama dalam masalah ini. Apakah kekufuran
tersebut memang kekufuran secara mutlak yang merupakan sebab wajibnya
membangkang dan memberontak penguasa ?]
Jawaban :
Fatwa yang dikeluarkan oleh ulama tentang kafirnya orang- orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah kebanyakan memang benar adanya ! Bahkan beberapa
buku telah ditulis oleh para ulama berkaitan dengan masalah ini, bersandarkan
kepada beberapa ayat dan hadits.
Vonis kafir, zhalim dan fasik yang dijatuhkan kepada orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah adalah ketetapan syari'at ! Itu adalah perkara yang
selalu kita sebutkan berulang kali dan kita yakini bersama!
Akan tetapi perlu diketahui bahwa berhukum dengan selain hukum Allah ada dua
:
Pertama : Menghalalkan hukum selain hukum Allah dan meyakini bahwa
syariat Islam tidak layak diterapkan selamanya.
Kedua : Meyakini bahwa syariat Islam layak diterapkan dan sudah
sempurna. Akan tetapi keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan pula di
bawah kuasa seseorang, perumpamaannya seperti seorang muslim yang melakukan
maksiat tanpa menghalalkannya. Seperti orang yang minum khamar, ia meyakini
bahwa perbuatan itu adalah maksiat, akan tetapi ia telah dikuasai syahwat.
Keadaannya tentu berbeda dengan orang yang meyakini khamar halal tidak
terlarang sekalipun ia tidak meminumnya, atau tidak meyakini wajibnya shalat lima waktu, orang seperti
ini dihukumi kafir.
Kami tegaskan bahwa masalah pengkafiran orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah ada perinciannya. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir atas penguasa
atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak sehingga
mengetahui keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.
Persoalan kedua : Kendati ayat menyatakan :
"Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir"
[Al-Maidah : 44]
Namun, adakah perintah memberontak dan membangkang penguasa yang dapat
menimbulkan kerusakan dan mafsadat yang besar dan dapat membahayakan
kelanggengan dakwah dan keselamatan para da'i?
Memang kita tetap menyatakan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dengan
hukum Allah maka ia termasuk orang-orang kafir (dengan perincian diatas tadi).
Namun di sisi lain kita menyatakan : Tidak dibenarkan membangkang penguasa yang
tidak mendatangkan maslahat bahkan justru mendatangkan mafsadat. Hal itu hanya
boleh dilakukan jika seluruh kaum muslimin bersatu padu, duduk berdialog untuk
menasihati penguasa tersebut, para ulama dan orang-orang yang shalih juga
banyak jumlahnya dan seluruh rakyat tidak menghendaki penguasa itu terus
memimpin serta seluruh masyarakat menentangnya. Dalam kondisi demikian kaum
muslimin boleh menurunkan penguasa itu jika mereka yakin dapat mewujudkan
harapan mereka meskipun masih tersisa segelintir orang yang pro penguasa dan
para pendukungnya.
Adapun kondisi yang kita saksikan sekarang ini, tindak pemberontakan dan
pembangkangan merupakan tindakan bodoh, tergesa-gesa dan tanpa ada alasan yang
jelas.
Pertanyaan 5:
Diantara persoalan yang dijadikan alasan melakukan tindak kekerasan dan
anarki yang banyak kita saksikan sekarang adalah alasan yang dilontarkan
sebagian mereka bahwa pemerintah yang ada itu tidak sah dan tidak adanya bai'at
setelah jatuhnya khilafah Islamiyah ?
Jawaban :
Pembahasan tentang sah atau tidaknya pemerintahan- pemerintahan yang ada
harus dilihat dari tolak ukur yang menentukan sah atau tidaknya pemerintahan
itu. Apakah penguasa yang dibai'at rakyatnya secara sah, disetujui oleh seluruh
rakyatnya sementara penguasa itu tidak berhukum dengan hukum Allah bahkan
menghapus hukum syar'i, melarang rakyatnya menunaikan ibadah, menjauhkan mereka
dari agama dan menyebarkan syirik dan kerusakan dapat dikatakan sebagai
penguasa yang sah ? Tentu saja penguasa seperti ini tidak bisa dikatakan
sebagai penguasa yang sah, karena ia mengajak dan memaksa rakyatnya berbuat
ilhad dan syirik dan menumpas segala sesuatu selainnya. Dia itu meskipun pada
awalnya dianggap sah namun menjadi tidak sah.
Penguasa lainnya merebut kekuasaan dengan kekuatan senjata atau dinobatkan
sebagai penguasa. Segenap rakyat tunduk dan patuh kepadanya, sehingga
stabilitas keamanan tetap terjaga, maslahat demi maslahat dapat ditegakkan,
rakyat pun hidup dengan tenteram, semua urusan lancar dan beres, ketenangan
tetap terpelihara, kaum muslimin dapat melaksanakan ibadah mereka dengan aman
dan tenang, kendati ada beberapa catatan atas penguasa itu, dapatkah kita
golongkan sebagai pemerintah yang tidak sah ?
Alim ulama menyatakan : Setiap orang yang merebut kekuasaan dengan kekuatan
lalu memerintah kaum muslimin berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dan segenap
rakyat tunduk dan patuh kepadanya, maka tidak boleh membangkang pemerintahannya
meskipun ia tidak dibai'at, karena bukanlah menjadi syarat ia harus dibaiat
oleh setiap orang !
Jika seseorang merebut kekuasaan dengan kekuatan, segenap rakyat patuh dan
taat kepadanya, stabilitas keamanan terjaga, maka diharamkan memberontak
terhadapnya meskipun didapati beberapa perbuatan maksiat dan pelanggaran
syariat padanya. Selama ia tidak mengajak manusia kepada kekufuran dan melarang
mereka menjalankan agama atau menutup masjid- masjid kaum muslimin, menyebarkan
ilhad dan kekufuran serta lebih mendahulukan orang-orang kafir dan pelaku
maksiat dan menjauhi kaum muslimin dan mukminin. Jika demikian keadaannya maka
harus disikapi dengan cara yang lain pula. Jadi, apakah maksudnya pemerintah
yang sah ? Kita ingin tahu istilah pemerintah yang sah menurut persepsi mereka
! Jika penguasa yang berkuasa dengan kekuatan senjata, dipatuhi dan ditaati
oleh rakyat dianggap sebagai pemerintahan yang sah ?
Jadi, untuk mengetahui istilah pemerintahan yang sah perlu kaidah. Beberapa
sisi telah kami jelaskan di atas tadi. Adapun mengaitkan persoalan menegakkan
pemerintahan yang sah dengan khilafah Islamiyah adalah perkara yang tidak dapat
diterima sama sekali. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
mengabarkan bahwa masa khilafah rasyidah itu adalah tiga puluh tahun setelah
itu akan muncul penguasa-penguasa yang otoriter.
Pertanyaan 6:
Fadhilatusy Syaikh, dari jawaban Anda tadi dapat saya pahami bahwa
penguasa yang boleh diberontak adalah penguasa yang memaksa rakyatnya kepada
syirik dan kekufuran. Dapatkah kita pahami dari penjelesan tersebut bahwa demi
menjaga kemaslahatan umat tidak dibenarkan memberontak penguasa yang tidak
berhukum dengan hukum syar'i namun ia tidak memaksa rakyatnya kepada kekufuran
dan masih meyakini kelayakan syariat ?
Jawaban :
Jika demikian keadaan penguasa tersebut maka tidak dibenarkan memberontak
pemerintahannya. Kewajiban kaum muslimin adalah menasihatinya. Para ulama harus kontinyu menasihatinya, dalam hal ini
kewajiban ulama adalah harus menasihati penguasa nasihat demi nasihat, tahun
demi tahun, bulan demi bulan, janganlah mereka berputus asa dan jangan pula
mengatakan : "Kami telah memberi nasihat namun ia tidak mengacuhkannya
!" Hendaknya mereka mencari metode yang terbaik dalam menyampaikan nasihat
hingga penguasa tersebut mendengarnya atau satu hari kelak dengan izin Allah !
Dari sisi lainnya, para ulama juga harus berusaha membenahi keadaan
masyarakat dengan mengajarkan syariat dan memahamkan Dienul Islam kepada mereka
sehingga masyarakat tersebut menjadi masyarakat muslim yang shalih. Dengan cara
demikian nilai-nilai kebaikan akan cepat tersebar di tengah kaum muslimin
sehingga terciptalah masyarakat yang shalih dan beriman. Dengan demikian pula
orang-orang fasik dan pelaku maksiat semakin terdesak dan tidak punya tempat.
Dengan cara seperti itu pula para pelaku maksiat terpaksa menampakkan sesuatu
yang bertentangan dengan batinnya. Demikianlah kondisi masyarakat pada zaman
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Itulah kondisi masyarakat muslim dari zaman ke zaman. Sedikit demi sedikit
mengalami perubahan disebabkan penjajahan dan sebab-sebab lainnya sehingga
sangat membutuhkan pembenahan kembali. Adapun melakukan pemberontakan terhadap
penguasa yang tidak berhukum dengan syariat namun tidak juga meyakini jeleknya
syariat dan tidak mengajak dan memerintahkan rakyatnya kepada syirik dan
kekufuran atau minimal ia diam, tidak menindak pelaku maksiat dan tidak pula
mengganggu kaum muslimin di masjid-masjid mereka. Ia tidak menindak kedua belah
pihak tersebut serta masih meyakini kebenaran Dienul Islam dan meyakini bahwa
Islamlah yang layak memimpin. Akan tetapi ia belum bersedia dan belum membantu
tegaknya syariat karena beberapa sebab yang menghalanginya, atau karena imannya
atau jiwanya yang lemah, atau sebab- sebab lainnya seperti khawatir beberapa
keputusan dan hukum akan terluput ditangannya dan yang lainnya, maka tentu saja
tidak boleh melakukan pemberontakan terhadapnya. Bahkan selalu saya ulangi
supaya terus menasihatinya dan berusaha menempuh berbagai cara dalam
menyampaikan nasihat tersebut hingga pada suatu kelak penguasa itu dapat
menerimanya.
Apabila masyarakat muslim yang shalih telah tercipta, masyarakat yang
memiliki satu ideologi dan satu pedoman yaitu hanya menunjukkan ibadah kepada
Allah semata dan menegakkan perintah-perintahNya, dan apabila kondisi yang
ideal telah tercipta untuk menegakkan syariat maka boleh jadi penguasa itu
sendirilah yang meminta supaya berada di atas pedoman mereka dan meninggalkan
pelanggaran syariat yang dilakukannya ! Karena ia menyaksikan sendiri
nilai-nilai kebaikan yang telah banyak tersebar.
Pertanyaan 7:
Meskipun ulama telah menjelaskan cara yang syar'i dalam memberi nasihat,
terlebih nasihat kepada penguasa, namun sangat disayangkan masih ada juga orang
yang berusaha membantah dan mencari-cari alasan demi alasan untuk melakukan
tindakan-tindakan anarki yang banyak terjadi akhir- akhir ini. Padahal
persoalan ini telah dibatasi dengan rambu- rambu syariat! Mereka
gembar-gemborkan ke mana-mana bahwa nasihat dengan cara yang syar'i bukanlah
cara yang ampuh. Mereka beralasan bahwa cara seperti itu tidak membawa pengaruh
apa-apa terhadap masyarakat padahal telah berlalu sekian tahun tanpa membawa
hasil apapun ! Demikian kata mereka. Mereka beranggapan bahwa untuk mengatasi
kondisi seperti ini mereka membolehkan melanggar batas-batas syar'i yang
ditetapkan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Bagaimana tanggapan Anda dalam masalah ini
?
Jawaban :
Asumsi yang mengatakan bahwa periode memberi nasihat dan menahan sabar sudah
berakhir, menurut saya adalah sebuah asumsi yang keliru. Sebab nasihat tidaklah
dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Namun dibatasi dengan cara dan etika
tertentu.
Apakah seluruh metode memberi nasihat telah dilakukan ? Dan apakah
tahapan-tahapannya sudah ditempuh ? Saya beri contoh kasus : Ketika dilakukan
perjanjian damai dengan Israel
di salah satu negeri Islam, sebagian da'i berunjuk rasa dan berusaha
memberontak dan mengkafirkan penguasa negeri itu ! Ironisnya sebelumnya mereka
tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah tersebut sedikitpun ! Padahal
sebelumnya juga terdapat persoalan yang lebih besar dari itu yaitu tidak
diterapkannya syariat Allah dan terdapat beberapa kondisi yang sama sekali
tidak Islami, sementara para da'i itu tidak berkomentar sedikitpun.
Dan salah satu bukti bahwa permasalahan-permasalahan tidak diletakkan sesuai
dengan tempatnya adalah perlakuan tadi disamping masalah menekan perdamaian
dengan Yahudi boleh jadi dibenarkan dalam syariat sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena situasi dan kondisi tertentu.
Boleh jadi penguasa meyakini tindakannya itu mendatangkan maslahat terlepas
benar atau tidaknya tindakah itu, lalu anehnya mengapa permasalahan yang lebih
besar dan berbahaya dari itu tidak menjadi alasan untuk menentang dan
memberontak penguasa tersebut ? Lalu ketika penguasa itu menandatangani surat perjanjian damai
dengan Yahudi segera saja kasus itu diangkat sebagai alasan untuk memberontak
dan membangkang !
Saya tegaskan sekali lagi bahwa sebenarnya nasihat belum dilakukan
sebagaimana mestinya dan tidak dilakukan secara bertahap serta tidak pula
menetapkan skala prioritas yan jelas ! Ini perlu menjadi catatan penting.
Permasalahan kedua : Keyakinan sebagian orang bahwa jika nasihat telah
diberikan kepada penguasa dan ternyata tidak diacuhkan maka wajib melakukan
pembangkangan secara terang-terangan terhadapnya, baik pembangkangan dengan
senjata maupun dengan lisan melalui mimbar-mimbar, koran- koran dan melalui
seluruh sarana informasi yang ada. Satu pertanyaan yang mesti dilontarkan
kepada mereka : Mana dalilnya jika nasihat tidak diterima maka kita wajib
memberontak ?
Para ahli ilmu menyatakan bahwa kewajiban
kita hanyalah memberi nasihat. Jika nasihat itu diberikan berulang kali maka
cara itulah yang terbaik. Namun jika memotong kompas yaitu melakukan
pemberontakan, tentu saja cara tersebut sangat keliru !
Imam Ahmad pernah ditanya : "Ada
seorang yang kedapatan memainkan gitar, apakah kita harus mengingkarinya
?" Beliau menjawab : "Ya, ingkarilah ia, jangan biarkan ia
melakukannya !" Si penanya melanjutkan pertanyaannya : "Bolehkah saya
laporkan kepada pemerintah ?" Beliau menjawab : "Boleh saja jika
engkau mau !".
Perhatikanlah jawaban beliau tersebut ! Sebuah kemungkaran yang terjadi di
negeri yang aman, diperintah oleh seorang penguasa muslim yang berhukum dengan
hukum Allah akan tetapi Imam Ahmad memberikan kebebasan kepada si penanya, ia
boleh melaporkannya kepada pemerintah atau jika tidak maka pemerintah
sendirilah yang berwenang menindak pelakunya. Beliau menetapkan adanya hak
pengingkaran dengan lisan, ia boleh menyatakan bahwa perkara tersebut haram dan
mungkar, sampai di situ sajalah kewajiban Anda !
Dari siti jelaslah bahwa tidak semua perkara mungkar mesti dilaporkan kepada
penguasa. Jika ternyata dilaporkan maka itu merupakan salah satu langkah
melebihi kewajiban yang dibolehkan.
Sebenarnya tugas yang wajib diketahui oleh penguasa, yaitu hendaknya ia
memiliki mata-mata yang melaporkan kepadanya perbuatan-perbuatan mungkar.
Sementara tugas dan kewajiban Anda telah selesai, yaitu memberi nasihat.
Sebab pada dasarnya nasihat itu adalah kewajiban setiap muslim, berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya,
"Agama itu adalah nasihat" Beliau membaginya menjadi lima bagian : "Bagi
Allah, KitabNya, RasulNya, bagi Penguasa dan Segenap Kaum Muslimin".
Apakah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa setelah
menasihati penguasa engkau harus memberontak terhadapnya ?
Apakah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kepada engkau : Jika
engkau telah memberi nasihat kepada kaum muslimin atau kepada seorang muslim
namun ia tidak mengacuhkannya lantas engkau boleh membunuh, mencambuk atau
memukulnya dengan alasan ia tidak mendengarkan nasihat? Tentu saja tidak boleh!
Itu bukan kewajiban dan kewenanganmu! Pelaksanaan hukuman, memenjarakan, menjatuhkan
sanksi merupakan wewenang pemerintah.
Jadi engkau tidak boleh melangkah kepada prosedur berikutnya kecuali dengan
dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Menurut saya, nasihat harus
diberikan secara kontinyu dan berkesinambungan jangan sampai putus, tidak ada
prosedur lain setelah nasihat. Ingat ! Kewajiban Anda hanyalah memberi nasihat.
Ada beberapa
cara dan metode dalam memberi nasihat. Orang yang arif dan bijaksana tentunya
dapat melihat bahwa banyak sekali cara dan metode yang belum ditempuh !
Harus kita tekankan disini bahwa nasihat tidak dapat dibatasi dengan waktu.
Hanya orang-orang yang sempit pandangan saja yang membatasi nasihat dengan
jangka waktu tertentu. Ini jelas musibah. Sebuah perkara yang sudah dimaklumi
oleh para dokter bahwa pengobatan tentunya membutuhkan waktu yang tidak dapat
ditentukan secara pasti batas waktunya. Khususnya bagi penderita penyakit
kronis atau telah menderita penyakit selama bertahun-tahun. Biasanya ia tidak
dapat langsung sembuh dalam waktu sehari dua hari atau sebulan dua bulan. Maka
dari itu, nasihat tidak boleh ditindak lanjuti dengan melakukan pemberontakan
bagaimanapun bentuknya terhadap penguasa.
Pertanyaan 8:
Ada
sebagian orang yang berdalil dengan hadits yang berbunyi : "Barangsiapa
melihat sebuah kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka
mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu maka hendaknya ia membenci
kemungkaran itu dalam hatinya, dan itu merupakan derajat keimanan yang paling
lemah" . Untuk bertindak bila nasihat tidak diterima !
Jawaban :
Hadits diatas tidak menunjukkan hal tersebut. Hadits diatas dibatasi
pengertiannya dengan hadits-hadits dan kaidah-kaidah syariat lainnya. Di
antaranya kaidah yang berbicara tentang maslahat dan mudharat.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa seseorang boleh merubah kemungkaran dengan
tangan jika dia punya wewenang dan mampu melakukannya. Pemerintah dan
aparat-aparatnya wajib merubah kemungkaran dengan tangan. Selain mereka tidak
berhak merubah kemungkaran dengan tangan, namun ia berhak mencegahnya dengan
lisan. Jika merubah dengan lisan dapat menimbulkan mudharat, maka cukuplah ia
membencinya dalam hati. Hadits ini sebenarnya membeberkan keadaan sebagian da'i
yang justru berbuat menyalahi hadits tersebut. Hadits menjelaskan tingkatan dan
tahapan dalam mewujudkan maslahat. Apabila merubah kemungkaran tidak
menimbulkan efek negatife bahkan mendatangkan sisi positif maka itulah yang
dituntut. Dan apabila merubahnya dengan lisan sudah cukup maka cukuplah
merubahnya dengan lisan.
Dan jika ternyata bisa menimbulkan mudharat terhadap dirinya dan terhadap
segenap kaum muslimin maka dalam kondisi demikian cukuplah membencinya dalam
hati.
Pertanyaan 9:
Bukankah perbaikan umat termasuk salah satu tujuan syariat ?
Jawaban :
Sesungguhnya perbaikan umat memang termasuk salah satu tujuan syariat. Namun
yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah cara mewujudkan perbaikan tersebut ?
Pertanyaan ini harus dicarikan jawabannya!
Sekiranya kita katakan bahwa memanfaatkan mimbat-mimbar dan podium-podium untuk
memprovokasi massa
dan membeberkan kepada mereka segala sesuatunya adalah cara memperbaiki umat,
maka realita yang ada telah menjawbnya ! Apakah umat bertambah baik ataukah
malah semakin terpecah belah ? Pertanyaan berikut jawabannya ini menjelaskan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan maslahat tersebut !
Pertanyaan 10:
Mereka mencela manhaj Ahlus Sunnah
wal Jama'ah yang mendahulukan dan
memperhatikan kepentingan umat. Yaitu batasan-batasan yang telah digariskan
oleh Ahlus Sunnah untuk membangkang terhadap penguasa yang jelas dan nyata
kekafirannya, yakni pembangkangan itu tidak menimbulkan mudharat terhadap
masyarakat umum. Sementara mereka beranggapan bahwa tidak perlu memperhatikan
maslahat umum, namun sebaliknya kita mesti siap memberikan pengorbanan demi
keberhasilan perubahan yang kita inginkan.
Jawaban :
Pertama harus saya jelaskan bahwa maslahat umum harus didahulukan daripada
maslahat pribadi atau khusus. Kedua, sesungguhnya kemaslahatan Dienul Islam
adalah kemaslahatan seluruh umat. Namun bukan berarti Islam itu harus
ditegakkan dengan menumpahkan darah kaum muslimin. Dan bukan pula dengan
menggoncang stabilitas keamanan dan kemaslahatan kaum muslimin serta
menghancurkan kekuatan mereka hanya untuk meraih suatu kemaslahatan yang
mungkin berhasil atau mungkin tidak. Dalil tentang itu banyak terdapat di dalam
Al- Qur'an dan hadits, di antaranya.
"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan" [Al-An-am :
108]
Bukankah mencela berhala, kekafiran dan orang-orang kafir merupakan salah
satu kemaslahatan Islam ? Hal itu tentu saja tidak diragukan lagi. Tetapi
apabila orang-orang kafir berkuasa serta memiliki kekuatan, lantas dalam
kondisi demikian mereka malah melontarkan ucapan-ucapan yang terkadang mereka
sendiri tidak memahaminya (bahaya)nya, (maka pada waktu itu terlarang untuk
mencaci mereka -red). Meskipun kita tetap meyakini bahwa mencela tuhan-tuhan
mereka adalah benar, namun tidak semua yang kita yakini benar mesti kita
katakan.
Dalam kisah seorang anak muda ashabul ukhdud terdapat dalil yang menunjukkan
adanya kaidah "mendahulukan kemaslahatan umum dari maslahat yang
khusus". Allah telah memberikan karamah yang banyak kepada anak muda
tersebut. Ketika itu sang raja memerintahkan anak buahnya untuk melemparkannya
dari sebuah gunung setelah ia menyanggah ketuhanan raja tersebut, namun ia
kembali dengan selamat. Kemudian sang raja memerintahkan untuk melemparkannya
ke laut namun ia juga kembali dengan selamat. Lalu dia berkata kepada sang raja
: "Engkau tidak akan bisa membunuhku sampai engkau melaksanakan apa yang
aku katakan". Sang raja berkata : "Apa yang harus aku lakukan ?"
Dia berkata : "Kumpulkanlah manusia di suatu lapangan kemudian saliblah
aku di atas kayu dan ambillah sebilah anak panah dari kantong anak panahku,
lalu katakanlah.
"Artinya : Dengan menyebut nama Allah, Rabb anak muda ini !" Jika
engkau lakukan hal itu niscaya engkau akan dapat membunuhku". Begitu sang
raja melakukan instruksi anak muda itu, ia pun berhasil membunuhnya. Kemudian
orang-orang berkata seketika itu juga : "Kami beriman kepada Rabb anak
muda itu!".
Coba perhatikan ! Anak muda tersebut telah mengorbankan dirinya di jalan
Allah demi mendahulukan kemaslahatan masyarakat umum. Sungguh berbeda sekali
dengan orang- orang sekarang yang mengangkat senjata sambil berkata pongah :
"Saya akan merubah kemungkaran dan membunuh (orang-orang yang berbuat
kemungkaran atau membelanya) apapun yang terjadi nanti !" Apakah tindakan
seperti itu dibenarkan syariat !? Padahal ia sendiri tahu bahwa tindakannya itu
tidak ada faidahnya ! Dan apakah perbuatan seperti itu terpuji !? Jawabnya
tentu tidak ! Jadi, kemaslahatan Islam bukanlah berarti kemenanganya Dienul
Islam saja. Justru kemaslahatan Islam adalah kemaslahatan seluruh kaum muslimin.
Pertanyaan 11:
Di antara perkara yang perlu diperhatikan juga adalah penggunaan
kekerasan dan tindak anarki melawan kaum kafir yang tinggal di tengah-tengah
kaum muslimin dan menekan para pelaku maksiat dan orang fasik.
Jawaban :
Menurut saya perbuatan seperti itu tidak layak dilakukan kecuali oleh
orang-orang yang mengatasnamakan Islam. Mereka hanya mengambil secuil ajaran
Islam dan meninggalkan sebagian besarnya. Mereka belum mengerti hakikat Dienul
Islam sebenarnya.
Tindakan mereka itu jelas salah. Apa dosa orang-orang yang telah mendapat
jaminan keamanan itu sehingga diperlakukan secara aniaya ? Apakah tidak ada
balasan lain bagi pelaku maksiat kecuali dipukul dan dihina ? Ataukah kita
perlakukan dengan santun. Sesungguhnya Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
sangat penyayang kepada umatnya. beliau sangat santun kepada orang yang
bersalah.
Ketika seorang lelaki buang air kecil di masjid dan para sahabat bangkit
menyerbunya, beliau justru berkata : " Biarkanlah dia, janganlah sakiti
dia hingga ia menyelesaikan hajatnya ". Kemudian beliau memerintahkan agar
menyiram se-ember air untuk membersihkan kotorannya. Lalu beliau memanggilnya
dan mengajarkannya dengan lembut etika-etika Islam. Beliau jelaskan kepadanya bahwa
masjid tidak boleh digunakan untuk hal semacam itu. Lelaki itupun segera
mengambil air wudhu', lalu mengerjakan shalat dua rakaat lalu berdo'a :
"Ya Allah, curahkanlah rahmatMu bagiku dan bagi Muhammad dan janganlah kau
curahkan kepada selain kami berdua". Demikian pula ketika seorang pemuda
datang menemui beliau meminta izin berbuat zina, maka bagaimanakah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam membimbingnya ? Dan bagaimanakah hasilnya ?
Janganlah jadikan pelaku maksiat laksana mangsa tempat kita menumpahkan
kemaraham di dalam dada! Hal itu sangat keliru. Tidaklah dibolehkan melakukan
tindakan aniaya terhadap orang-orang kafir yang mendapat jaminan keamanan.
Mereka datang ke negeri Islam secara damai meskipun mereka kafir dan meskipun
mereka melakukan perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat. Kita
berkewajiban meminta agar mereka tidak melakukannya terang-terangan. Adapun
melakukan tindak aniaya terhadap mereka, jelas hal itu merupakan perbuatan
bodoh dan jahil. Perbuatan yang dilakukan karena tidak mengerti syariat Islam
dan diterapkan tidak sebagaimana yang diinginkan Allah.
Pertanyaan 12:
Ada
yang beranggapan bahwa salah satu tuntutan syariat adalah menekan dan
mengintimidasi kaum kafir (Nasrani dan Yahudi) di tempat ibadah-ibadah mereka.
Mereka berdalil dengan sebuah riwayat dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu
anhu, disebutkan di dalamnya perintah mendesak orang-orang kafir ke tepi jalan
jika kaum muslimin berpapasan dengan mereka.
Jawaban :
Menyempitkan kaum kafir di jalan-jalan bukan berarti menyempitkan mereka
dengan tindakan yang membahayakan mereka. Apakah maksud riwayat itu jika kita
berpapasan dengan orang kafir yang mengendarai kendaraan lantas kita desak ia
hingga kendaraannya naik ke trotoar, atau keluar dari ruas jalan atau hingga ia
menabrak sesuatu ? Anggapan dan ucapan seperti itu jelas keliru ! Pemahaman
seperti itu sangat picik dan salah !
Maksudnya ialah tidak memberikan jalan bagi mereka dalam rangka memuliakan
dan menghormati mereka. Karena hal itu bisa menjadi bentuk penghormatan bagi
agama mereka dan menambah kekuatan mereka, hal itu jelas dilarang. itulah
maksud riwayat di atas. Bukan maksudnya kita mendesak mereka ke pinggir jalan,
akan tetapi teruslah kamu berjalan di jalan yang kamu lalui dan jangalah kamu
pesilahkan mereka lewat terlebih dahulu karena menghormati dan memuliakan
mereka.
Berkaitan dengan tempat-tempat peribadatan mereka, tentunya persoalan ini
berbeda menurut kondisi satu negeri. Negeri yang tidak terdapat didalamnya kaum
Nasrani dan Yahudi dan bukan pula penduduk asli, maka tidaklah diperkenankan
membangun saran peribadatan mereka di situ ! Jika mereka mendirikannya di rumah
mereka sendiri dan tidak tampak tanda-tanda rumah ibadah padanya, maka kaum
muslimin tidak boleh memata- matai mereka di rumah-rumah atau tempat mereka
berkumpul pada hari raya mereka. Mereka tidak diperkenankan menampakkannya
terang-terangan.
Inilah yang dipraktekkan di Kerajaan Saudi Arabia dimana tidak terdapat
gereja-gereja dan tidak ada agama yang lain selain Islam. Adapun negeri yang
mana kaum Nasrani dan Yahudi terhitung bagian dari penduduknya, maka kaum
muslimin tidak boleh mendatangi tempat-tempat ibadah mereka untuk menekan
mereka. Cara seperti itu bertentangan dengan syariat. Namun hendaknya kita
mendakwahi mereka kepada Dienul Islam dengan cara yang terbaik. Menjelaskan
kepada mereka keindahan dan kesempurnaan Dienul Islam, rahmat dan kekuasannya.
Itulah yang seharusnya kita lakukan.
Bersama Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan
